PERAN KALSIUM PADA MEMBRAN SEL SISTEM SARAF KATAK
DAN TIKUS SEBAGAI
PENGANTARA PENERIMA RANGSANG PENCIUMAN
A.
Pendahuluan
Oksida
nitrad berukuran kecil dan labil. Membran yang permeabel terhadap radikal bebas
akan memproduksi enzim NO-Sintase (NOS). Dari tiga identifikasi dan kloning
NOS-isoform banyak dijumpai dalam neuron atau disebut nNOS, namun ada juga
bukti yang menyatakan NOS juga ada dalam sistem saraf. Sedangkan
nNOS telah terdeteksi dalam epitel penciuman tikus
embrional (Bredt &
Snyder, 1994; Roskams
et al., 1994),
kehadiran NOS di
epitel penciuman dewasa masih menjadi perdebatan (lihat Schild & Restrepo,
1998).
Dilaporkan,
NO dapat masuk ke ruang intraseluler melalui difusi bebas atau melalui
perantaraan protein transport (ditinjau oleh Stamler et al.,n1997), namun itu harus reaktif tinggi dan batas kemampuan
aktifitas membran (Garthwaite &
Boulton, 1995). Salah satu fungsi
NO yaitu sebagai aktivasi guanylyl siklase
yang menyebabkan meningkatnya level cGMP (Bredt & Snyder, 1989). Sebuah
stimulasi guanylyl siklase oleh NO telah ditemukan dalam pengamatan
penerima rangsang penciuman (ORNs) tikus, di mana bau yang
disebabkan kenaikan dari level cGMP bisa dihambat oleh NOS penghambat l-nitroarginine dan NO dalam hemoglobin (Breer,
Klemm & Boekhoff,
1992), ini menunjukan peran sintesis NO pada sel.
Lischka
& Schild (1993)
melaporkan induksi arus ke dalam oleh
NO-donor natrium nitroprusida (SNP) dalam ORNs Xenopus terisolasi. Sebagaimana arus ini serupa dengan yang ditimbulkan oleh cGMP, penulis mengusulkan NO /
cGMP-sistem pada ORNs.
Hasil yang sebanding telah diperoleh
di penyu (Inamura,
Kashiwayanagi & Kurihara, 1998).
Sebaliknya,
menggunakan ORNs isolat dari dua spesies amfibi
C. caudiverbera dan X. laevis, kami melaporkan bahwa pengaruh
dari NO-donor SNP dan NOC-12 yang polaritas
tinggi menyebabkan arus keluar sementara sel
bagian bawah menahan arus (Schmachtenberg & Bacigalupo,
1999). Saat ini
ditandai dengan sensitivitas terhadap K+ saluran
penghambat Charybdotoxin dan ketergantungan pada K+ dari luar, menunjukan pengantara dari aktivasi K+. Hubungan arus-tegangan ini
mengingatkan pada Ca2+ aktif sebagai penghantar K+ (KCa). Pengaruhnya cepat
(latency pendek ~30
msec), bebas dari silia dan
tidak sensitif terhadap guanylyl siklase-inhibitor ODQ dan
LY83583, menunjukkan mekanisme bebas dari cGMP.
Sementara
Fikrie El Mujahid (2009) melaporkan penambahan natrium bikarbonat terhadap
larutan anestetik memperpendek mula kerja bupivakain 0,5% pada blokade saraf
perifer katak. Sebelumnya, pada tahun 2006, Halim, dkk, menyatakan paparan alkohol kronik menurunkan kepadatan sel
granula pada lapisan granular cerebellum tikus putih (Rattus norvegicus) jantan dewasa. Untuk itu makalah ini menjelaskan
“Peran Kalsium Pada Membran
Sel Sistem Saraf Katak Dan Tikus Sebagai Pengantara Penerima
Rangsang Penciuman”
B.
Sistem
Saraf Vertebrata
Komponen
sistem saraf ialah neuron yeng merupakan elemen seluler sistem saraf. Struktur
sel saraf bervariasi terdiri dari badan sel, aksen, dan dendrit. Badan sel
mengandung inti (nukleus) dan sitoplasma yang mengandung butir-butir Nissl,
mitokondria dan lainnya. Butir Nissl mengandung RNA dan penting untuk sintesis
protein, perpanjangn sitoplasma disebut serabut saraf. Badan sel merupakan
pusat pengendalian dari neuron dan berhubungan dengan aktivitas hidup sel lainnya.
Dendrit adalah serabut saraf yang membawa impuls dari neuron yang lain atau
reseptor ke badan sel saraf, akson berfungsi membawa rangsang dari badan sel
saraf ke neuron yang lain atau efektor-efektor.
Berdasarkan
ukuran dan bentuk julurannya neuron dibagi atas, neuron multipolar yaitu neuron
yang memiliki lebih dari dua juluran, neuron bipolar yaitu neuron yang memiliki
satu dendrit dan satu akson, dan neuron pseudonipolar yaitu neuron yang
kelihatan seperti memiliki satu juluran dari badan sel yang kemudian bercabang
membentuk huruf T, satu cabang menuju ke saraf periferi dan lainnya menuju ke
saraf pusat.
Menurut
fungsinya neuron ada tiga jenis neuron yang berinteraksi dalam sistem saraf
yaitu :
§ Neuron
sensori (aferen) adalah sel-sel saraf yang membawa rangsangan dari alat indra
atau resptor ke saraf pusat atau otak.
§ Neuron
motoris (eferen) adalah sel saraf yang membawa rangsangan dari otak ke perifer.
§ Neuron
penghubung adalah sel saraf yang menghubungkan saraf yang satu dengan yang
lainnya.
Kemampuan
vertebrata untuk menanggapi rangsang membutuhkan tiga komponen yakni harus ada
reseptor, neorun, dan efektor. Efektor merupakan struktur yang melaksanakan
aksi sebagai respon terhadap rangsangan. Rangsangan yang disampaikan ke efektor
melalui neuron motoris.
Rangsangan
bergerak dari neuron ke neuron lainnya, ujung-ujung dendrit dari masing-masing
sel saraf tidak saling menyentuh namun ada jembatan protoplasma yang dinamai
sinapsis.
Beberapa
ujung cabang akson membentuk seperti gelembung kecil yang dinamakan terminal
buton. Dalam terminal ini terdapat kantong sangat kecil yang berisi bahan kimia
yang dinakam neurotransmiter termasuk asetilkolin, asam
ᵞ amino-butirat, norepi-nefrin, dan serotonin yang
merangsang dendrit terdekat untuk mulai menyampaikan pesan.
Neurotransmiter
ini dilepaskan ke rongga yang dinamakan celah sinapsis (Synaptic cleft),
kemudian zat itu berdifusi dengan cepat ke dendrit terdekat. Ini akan
mengganggu potensial istirahat dendrit dan dengan begitu akan membangkitkan
rangsangan baru, akhirnya rangsangan mencapai sel efektor. Pada saat ini
neurotransmitter dilepas dari neuron motoris melalui “motor and plate” yang
berada pada ujung-ujung akson dekat serabut otot. Neurotransmitter ini menyebabkan
otot berkonstraksi.
Sel
glia adalah sel non-neuron yang menyediakan dukungan dan nutrisi,
mempertahankan homeostasis, membentuk mielin, dan
berpartisipasi dalam transmisi sinyal dalam sistem saraf. Di antara fungsi
paling penting dari sel glia adalah untuk mendukung neuron dan menahan mereka
di tempatnya ; untuk menyediakan nutrisi ke neuron; untuk insulasi neuron secara
elektrik, untuk menghancurkan patogen dan menghilangkan neuron mati, dan untuk menyediakan
petunjuk pengarahan akson dari neuron ke sasarannya. Sebuah jenis sel glia
penting (oligodendrosit dalam
susunan saraf pusat, dan sel schwann dalam sistem saraf tepi) menggenerasikan
lapisan sebuah substansi lemak yang disebut mielin yang membungkus akson dan
menyediakan insulasi elektrik yang mengijinkan mereka untuk mentransmisikan
potensial aksi lebih cepat dan lebih efisien.
Sistem
saraf vertebrata dibagi menjadi dua yaitu sistem saraf pusat dan sistem saraf
tepi. Sistem saraf pusat terdiri dari otak dan sum-sum tulang belakang. Otak
menyediakan kemampuan integratif yang mendasari perilaku kompleks yang khas
pada vertebrata. Sum-sum tulang belakang mengintegrasikan respon yang sederhana
terhadap jenis stimulus tertentu dan mengirimkan informasi ke dan dari
otak. Sementara sistem saraf tepi pada
vertebrata terdiri atas saraf kranial dan saraf spinal yang berpasangan serta
ganglia terkait. Saraf kranial berasal dari otak yang menginervasi organ kepala
dan tubuh bagian atas. Saraf spinal berasal dari sum-sum tulang belakang dan
menginervasi keseluruhan tubuh. Karena pengaturan yang kompleks dari neuron
sensoris dan neuron motoris pada saraf spinal dan saraf kranial vertebrata
makan sistem saraf tepi dibagi menjadi : Sistem saraf somatik membawa sinyal ke
otot rangka terutama sebagai respon terhadap rangsangan eksternal. Sistem saraf
otonom mengirimkan sinyal yang mengatur lingkungan eksternal dengan cara
mengontrol otot polos dan otot jantung serta organ-organ sistem pencernaan,
kardioveskuler, ekskresi dan endokrin. Sistem saraf ototnom terdiri atas sistem
saraf simpatik dan sistem saraf parasimpatik.
C.
Kalsium
Kalsium
merupakan mineral yang paling banyak terdapat di dalam tubuh vertebrata (manusia
1,5-2% dari berat badan orang dewasa). Di dalam cairan ekstraselular dan intraselular
kalsium memegang peranan penting dalam mengatur fungsi sel, seperti untuk
transmisi saraf, kontraksi otot, penggumpalan darah dan menjaga permebilitas
membran sel. Kalsium juga mengatur
pekerjaan hormon-hormon dan faktor pertumbuhan (Almatsier, 2004).
D.
Pembahasan
Hasil penelitian oleh O.
Schmachtenberg dan J. Bacigalupo (1999)
menyatakan bahwa, NO menginduksi arus dalam K+ saat ORNs Xenopus dan Caudiverbera dipisahkan
(Schmachtenberg & Bacigalupo, 1999). Fenomena
ini, ditunjukkan pada percobaan menggunakan tikus
yang dimediasi oleh Ca2+ .
Pada Ca2+ yang bebas dari
pengaruh NO, tegangan arus memiliki hubungan dan sensitif terhadap IbTX
menunjukan aktivasi konduktansi Kca. Konduktansi ini peka terhadap TEA
tetapi tidak peka pada Apamin (Gambar 2)
menunjukan adanya keterlibatan saluran Kca namun konduktansi tidak kecil (Hille,1992;. Candia et
al, 1992; Cai,
Garneau & Sauve,
1998). Saluran Kca dengan konduktansi kesatuan 130 pS
dan ketergantungan Ca2+ yang kuat telah dijelaskan
dalam ORNs tikus (Maue & Dionne,
1987). Ca2+ terlibat dalam pengaktifan NO yang diinduksi K+
mungkin Ca2+ meresap masuk ke dalam sel
melalui kanal, atau dapat dilepaskan dari dalam. Penurunan diamati
dari pengaruh NO oleh kadmium, nipedifin, dan rendah Ca2+ luar sejalan dengan gagasan bahwa Ca2+ menyebabkan masuknya NO yang selanjutnya
diaktifkan saluran Kca. Pengamatan langsung dari NO yang diinduksi kedalam arus
dan Ca2+ menggambarkan percobaan didukung
bahwa hipotesis.
Modulasi
arus dari Ca2+ oleh NO dari neuron simpatik
dan sel-sel otot jantung telah
dilaporkan (Chen & Schofield, 1993; Campbell,
Stamler & Strauss,1996), tapi bagaimana masuknya
Ca2+ di ORNs disebabkan oleh NO masih
harus diklarifikasi. Pengamatan menunjukan siklus
GNP tidak mungkin terlibat karena penghambat guanylyl siklase tidak mencegah pengaruh. Ca2+ masuk juga merupakan langkah kunci dalam transduksi penciuman. Hal ini
menumbulkan pertanyaan, mengapa induksi NO masuknya Ca2+ tidak
mengaktifkan Ca2+ terikat saluran klorida seperti
yang terjadi selama respon
bau (Lowe & Gold,1993). Salah satu kemungkinan adalah adanya pemisahan ruang atau penghalang kimia
dua jalur masuk Ca2+. Memang, percobaan
dengan fokus stimulasi menunjukan bahwa pengaruh NO dominan di
soma dimana Ca2+ terikat saluran klorida tidak diharapkan. Dua
Ca2+ konduktansi telah dijelaskan dalam ORNs : tegangan
somatik tergantung konduktansi (Schild, 1991;
Delgado & Labarca,
1993) dan konduktansi CNG terbatas terutama
untuk silia. Hasil penelitian menunjukan jalur masuk Ca2+ melalui saluran somatik karena : (i) pengaruh keberadaanya dalam sel
tanpa silia dan dalam sel dengan silia somatik menghasilkan arus stimulasi yang
lebih besar daripada stimulasi silia (Gambar. 7A),
meskipun kepadatan saluran CNG adalah
jauh lebih rendah di soma. (ii) Suatu
aktivasi saluran CNG
harus menyebabkan arus ke dalam menonjol, seperti
yang terjadi selama respon
bau, tapi ini tidak
terjadi (Gbr. 5), dan (iii) dosis tinggi CNG penghambat saluran LY83583 tidak mnghambat arus NO
yang diinduksi (Gambar. 7B dan 8C).
Broillet & Firestein (1996a, 1997)
melaporkan pengaktifan NO oleh saluran
asli CNG dari salamander harimau dan tikus serta pengaktifan rekombinasi
menyatakan tikus α- dan β-homomerik dan α/ β heteromeric saluran CNG oleh NO.
Pengaktifan terjadi hanya perlahan-lahan kembali dan dapat menirukan dengan
memodifikasi agen sulfhidril, menunjukkan bahwa NO berinteraksi dengan sisa
sistein yang mengarah ke oksidasi bebas kelompok SH. Namun, mengenai asal saluran
CNG penciuman tikus, laporan lain baru-baru ini (Lynch, 1998) menemukan
sebaliknya: penghambatan langsung oleh NO.
Menariknya,
dua penelitian patch-clamp seluruh sel melaporkan
pengaktifan arus masuk
pada ORNs oleh NO juga menyimpulkan keterlibatan
cGMP (Lischka & Schild, 1993; Inamura et
al., 1998), mengusulkan
NO-stimulasi terlarut
guanylyl siklase dan
mengabaikan pengaruh langsung NO. Dalam kedua studi
rekaman yang dilakukan
pada memegang potensi -70 mV, dimana luar K+ dijelaskan
terlalu dekat dengan potensi ekuilibrium untuk
terdeteksi. Namun, dalam
percobaan ini, tidak berdenyut singkat
maupun panjang dengan NO-donor SNP diinduksi ke dalam
arus di bawah kondisi ionik normal. Anehnya, Lischka
& Schild (1993)
menegaskan syarat mutlak dari SNP diinduksi
ke dalam larutan intraseluler, tinggi (3 mM) GTP yang tidak terjadi
di Inamura et al. (1998), di mana
tidak ada GTP ditambahkan.
Digunakan 0,1 mM
GTP, tapi kehilangan tidak ada bedanya. Hasil
ini bertentangan mungkin mencerminkan
fleksibilitas reaksi NO (lihat Stamler et al.,
1997) atau bisa karena perbedaan perlakuan percobaan, seperti
gangguan Ca2+ bebas dering atau enzim
proteolitik yang bertentangan dengan mekanisme pemisahan
murni. Sayangnya, penelitian seluruh
sel yang disebutkan di atas tidak memiliki karakterisasi farmakologi saat diamati, dan hipotesis NO
/ cGMP-sistem
intinya didasarkan pada perbandingan
SNP dengan pengaruh cGMP.
Hipotesis
dari sinyal NO-sistem dalam epitel penciuman dewasa menyiratkan perlunya
untuk ekspresi NOS.
Sedangkan beberapa peneliti gagal untuk mengidentifikasi sumber NO diduga
menggunakan antibodi terhadap nNOS atau mRNA hibridisasi in situ (ulasan Broillet &
Firestein, 1996b; Schild & Restrepo,
1998), upaya dengan
metode NADPH-diaphorase menghasilkan pewarnaan kuat
dalam epitel penciuman tikus (Kulkarni,
Getchell & Getchell,
1994; Dellacorte et
al,.1995). Namun,
metode histokimia ini juga tanda setara enzim
sitokrom P-450 reduktase,
yang
hadir dalam sel-sel sustentacular epitel penciuman (Kishimoto et al., 1993), sehingga mencegah penafsiran kesimpulan hasil ini.
hadir dalam sel-sel sustentacular epitel penciuman (Kishimoto et al., 1993), sehingga mencegah penafsiran kesimpulan hasil ini.
Salah satu kemungkinan
untuk mendamaikan data kontroversial dalam ekspresi sampai sekarang yang teridentifikasi
NOS isoform dalam
epitel penciuman.
Arhold et al.
(1997) menemukan ekspresi transien diinduksi NOS
isoform (iNOS) dalam
mengembangkan ORNs
dari embrio tikus, sedangkan dua isoform lainnya
tidak terdeteksi. Sementara
temuan ini bertentangan dengan sebelumnya diidentifikas ekspresi nNOS dalam tumbuh melampaui ORNs
dari embrio tikus
berkaitan dengan NOS isoform dan periode
ekspresi (Bredt &
Snyder, 1994;. Roskams
et al, 1994),
ketiga laporan menunjukkan peran NO dalam proses perkembangan
seperti merintis jalan aksonal dan synaptogenesis.
Hal ini perhatian khusus karena neuron terus
dihasilkan dalam epitel
penciuman, oleh karena itu NO
mungkin mempertahankan peran perkembangan pada hewan dewasa. Meskipun
ekspresi NOS di
ORNs menurun setelah
lahir, bisa jadi induksi kembali oleh bulbectomy sepihak (Roskams
et al., 1994),
membuat model epitel penciuman yang sangat baik untuk mempelajari
fungsi NO dalam perkembangan saraf.
ORNs
bukan satu-satunya kemungkinan sumber
NO dalam epitel
penciuman. nNOS telah ditemukan
dalam ekstrinsik saraf
innervating pembuluh darah dan kelenjar seromucous
pada mukosa penciuman, di mana ia dapat mengatur aliran darah dan sekresi (Hanazawa et al,
1994;. Kulkarni et
al., 1994).
Meskipun kelihatannya hampir tidak mungkin bahwa NO dari sumber
yang jauh ini mempengaruhi sinyal penciuman di
silia dan dendrit, mungkin
mencapai target yang lebih proksimal
seperti bagian somata
atau aksonal dari
ORNs. Atau NO stimulasi
in vivo dapat terjadi dalam bola pencium, di
mana ORNs membentuk sinapsis dengan sel mitral. NOS berlimpah di bohlam
pencium dan diproduksi oleh sel granul dan tipe sel
lainnya (Kishimoto et al, 1993.; Hopkins et al., 1994). Target molekul ORN
tanggap terhadap NO mungkin didistribusikan di seluruh sel membran, tapi
benar-benar digunakan hanya di
bola pencium.
Akhirnya, konsentrasi tinggi
dari CO
memproduksi
enzim heme oxygenase-2 dan sitokrom P-450 dalam epitel penciuman menyebabkan hipotesis bahwa CO mungkin berpartisipasi dalam saraf penciuman daripada NO (Verma et al., 1993). Selain itu, eksogenus CO telah
ditunjukkan untuk
mengaktifkan saluran CNG dari isolasi ORNs
dari salamander harimau (Leinders Zufall, Shepherd & Zufall, 1995). Pengaruhnya diperlukan GTP dalam larutan internal
dan bisa diblokir oleh larutan
guanylyl siklase-inhibitor
LY83583, menunjukkan bahwa itu dimediasi oleh cGMP. Berdasarkan hasil tersebut, penulis menyarankan jalur CO / cGMP di penciuman transduksi
dan beralih mungkin
antara NO dan CO selama pengembangan.
Meskipun cGMP
terikat NO dan CO rangsangan saluran CNG muncul sebanding yang melibatkan baik cGMP maupun
saluran CNG, jelas merupakan fenomena yang terpisah. Penelitian di masa depan harus menjelaskan fungsi NO sinyal pada ORNs
vertebrata.
Laporan Fikrie El Mujahid (2009), adanya
pemendekan mula kerja anestesi lokal pada penambahan natrium bikarbonat. Ketika
pH ekstraseluler meningkat karena penambahan natrium bikarbonat, berkurangnya
pH intraseluler selama difusi CO2 bisa juga memainkan peran dalam
meningkatkan blokade anestesi lokal selama protonasi basa bebas anestesi lokal
intraseluler (ion trapping) dan meningkatkan gradien konsentrasi basa bebas
anestesi lokal melintasi membran plasma. Hal ini disebabkan penambahan natrium
bikarbonat menyebabkan terjadinya alkalinisasi. Dalam bentuk basa bebas,
anestetik lokal hanya sedikit larut dan tidak stabil dalam bentuk larutan.
Sebelum mencapai tempat kerjanya obat harus berdifusi melalui jaringan
penyambung dan membran sel lain, dan hal ini hanya mungkin terjadi dengan
bentuk amin yang tidak bermuatan listrik. Untuk menembus membran neuron,
larutan non ion larut lemak dibutuhkan. Mula kerja anestetik lokal merefeksikan
difusi dari bentuk non ion larut lemak menembus membran saraf. Semakin banyak
bentuk non ion, semakin cepat pula mula kerjanya.
Hendry Halim, dkk, (2006) menyatakan paparan alkohol kronik menurunkan kepadatan
sel granula pada lapisan granular cerebellum tikus putih (Rattus norvegicus) jantan dewasa. Mereka melaporkan salah satu mekanisme
kerusakan sel granula cerebellum yang diyakini berkaitan dengan toksisitas
alkohol adalah mekanisme peningkatan fluiditas membran. Peningkatan fluiditas
terjadi karena alkohol mengikat hidrogen dan senyawa alkil lain pada membran
yang menyebabkan terganggunya lipid phase transition temperature, yaitu suhu yang dapat
menyebabkan membran lipid berubah dari cair (liquid state ) menjadi gel (solid
state). Hal ini menyebabkan membran lipid berubah menjadi lebih cair, akibatnya
pergerakan dan interaksi protein membran meningkat. Gangguan fluiditas membran
mengakibatkan influks berlebihan sejumlah ion yang pada keadaan normal dipertahankan
dalam keseimbangan yang dinamis. Masuknya ion Ca2+ secara berlebihan
ke dalam sel memacu kerusakan membran mitokondria. Kerusakan ini
dikarenakan Ca2+ yang
berlebihan menyebabkan gangguan potensial listrik trans-membran dan Ca2+ overload menyebabkan terbukanya saluran nonselektif berukuran besar
yang disebut Permeable Transition Pore
( PT-pore).
E.
Simpulan
Sistem
saraf merupakan mekanisme yang penting dalam tubuh makhluk hidup umumnya dan
vertebrata khususnya. Sistem saraf vertebrata dibagi menjadi dua yaitu sistem
saraf pusat dan sistem saraf tepi. Sistem saraf pusat terdiri dari otak dan
sum-sum tulang belakang. Karena pengaturan yang kompleks dari neuron sensoris
dan neuron motoris pada saraf spinal dan saraf kranial vertebrata makan sistem
saraf tepi dibagi menjadi : Sistem saraf somatik dan Sistem saraf otonom.
Sistem saraf otonom terdiri atas sistem saraf simpatik dan sistem saraf
parasimpatik.
Berdasarkan
penjelaskan referensi jurnal menyatakan bahwa paparan alkohol kronik menurunkan
kepadatan sel granula pada lapisan granular cerebellum tikus putih, Penambahan
natrium bikarbonat terhadap larutan anestetik memperpendek mula kerja
bupivakain 0,5% pada blokade saraf perifer katak.
Oleh
karena itu referensi jurnal karya O. Schmachtenberg dan J. Bacigalupo
setidaknya memberikan gambaran seberapa besar pengaruh Ca2+ pada
membran sel saraf sebagai pengantar impuls. Paper ini menjadi sangat penting
demi keberlangsungan kerja sistem saraf vertebrata juga referensi penelitian
penerapan lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA
Campbell,
dkk. 2002. BIOLOGI Jilid 3 Edisi 5.
Jakarta : Erlangga.
Halim,
Hendry, dkk, 2006. Pemberian Alkohol Peroral Secara Kronis
Menurunkan Kepadatan Sel Granula Cerebellum Pada Tikus Putih (Rattus
norvegicus) Jantan Dewasa. Jurnal Anatomi Indonesia Vol. 01 No. 01 : 19-24
Mujahid,
Fikrie El, 2009. Pengaruh Penambahan Natrium
Bikarbonat Terhadap Mula Kerja Bupivakain 0,5% Pada Blokade Saraf Perifer Katak.
Semarang : FK UNDIP
Schmachtenberg,
O. dan J. Bacigalupo. 1999. Calcium
Mediates the NO-induced Potassium Current in Toad and Rat Olfactory Receptor
Neurons. The Journal of Membrane Biology 175, 139-147
Tidak ada komentar:
Posting Komentar