Pengaruh Deksametason pada
Gen Moesin Ekspresi dalam Sel-sel Stroma Sumsum Tulang Kelinci
BAB
1
Pendahuluan
Kortikosteroid pada saat ini dianggap sebagai obat yang
sangat penting dalam dunia pengobatan, sehingga sering digunakan dalam
mengobati berbagai macam penyakit. Obat
dari golongan kortikosteroid umumnya digunakan untuk mengurangi mengatasi
radang, apapun penyebab radangnya dan di manapun lokasinya. Beberapa penyakit
peradangan yang kerap diobati dengan kortikosteroid adalah asma, radang
rematik, radang usus, radang ginjal, radang mata, dll. Selain itu, obat ini
juga digunakan pada penyakit gangguan sistem kekebalan tubuh, seperti berbagai
jenis alergi, dan lupus. Dengan sifatnya yang menurunkan sistem kekebalan,
kortikosteroid juga dapat digunakan untuk pasien yang baru menjalani
transplantasi organ untuk mencegah reaksi penolakan tubuh terhadap organ yang
dicangkokkan. Obat ini bahkan digunakan juga pada pasien kanker,
yaitu untuk mencegah mual dan muntah akibat kemoterapi, juga pada terapi kanker
itu sendiri sebagai terapi pendukung kemoterapi. Kortikosteroid juga digunakan
untuk ibu hamil yang memiliki resiko melahirkan prematur, yaitu untuk
mematangkan paru-paru janin, sehingga jika harus lahir prematur paru-paru bayi
sudah cukup kuat dan bekerja dengan baik.
Salah
satu kortikosteroid yang banyak dikonsumsi yaitu dari jenis deksametason. Deksametason
memiliki efek anti inflamasi dan anti alergi. Penggunaan deksametason di masyarakat sering kali kita
jumpai, antara lain: pada terapi arthritis
rheumatoid, systemic lupus erithematosus, rhinitis alergika, asma, leukemia, lymphoma, anemia hemolitik atau auto
immune, selain itu deksametason dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis
sindroma cushing. Efek samping pemberian deksametason antara lain terjadinya
insomnia, osteoporosis, retensi cairan tubuh, glaukoma dan lain-lain (
Suherman, 2007). Banyaknya penggunaan deksametason dalam
berbagai macam kasus, sehingga deksametason merupakan satu-satunya pilihan obat
terbaik, sehingga mau tidak mau harus digunakan. Namun, penggunaan deksametason memiliki efek
samping yang cukup luas, antara lain : meningkatkan resiko diabetes, menghambat pertumbuhan anak-anak, menyebabkan
gemuk pada bagian tubuh tertentu (wajah, bahu, perut), menurunkan daya tahan
tubuh sehingga mudah terkena infeksi, meningkatkan resiko hipertensi karena
menahan garam di dalam tubuh, menyebabkan gangguan lambung (perdarahan lambung)
dan penggunaan deksametason dalam jangka panjang dapat mengakibatkan
osteoporosis atau pengeroposan pada tulang.
BAB II
PEMBAHASAN
Penelitian yang dilakukan untuk
mengetahui pengaruh deksametason terhadap
sumsum tulang sel stroma diferensiasi dipelajari dengan skrining aksi
deksametason dan ekspresi gen pada kelinci.
Sebuah penelitian pada perubahan matriks protein ekstraseluler
menggunakan pengobatan deksametason. Pada sebagian besar penelitian yang
dilakukan dengan memodifikasi perlakuan pemberian deksametason. Untuk
mengidentifikasi suatu gen responsive terhadap deksametason, dipelajari sebuah
tampilan pola ekspresi gen diferensial pada sel stroma sumsum tulang pada
kelinci yang dikultur dengan pemberian deksametason dan tanpa pemberian
deksametason.
Bahan dan metode
Sel dan kondisi kultur sel stroma
sumsum tulang pada femur tiga ekor kelinci putih betina New Zealand. Sel-sel berlapis 75 cm2 dalam botol pada kepadatan 3x105 sel/cm2 dan
dikultur dalam α MEM ditambah dengan 10%
v/v (FCS) serum fetal calf dan diberi perlakuan dengan pemberian deksametason
10 Nm (Dex) dan tanpa pemberian deksametason selama kurun waktu 28 hari. Pada
akhir pengkulturan, aktivitas alkaline phosphate dan kapasitas in vitro.
Ekstraksi mRNA
Total ektraksi RNA dilakukan pada 1
ml semua ekstrak untuk 7x106 cells
(Eurobio,
Les Ulis, France). Total RNA diukur dengan menggunakan spektrofotometer pada
260 nm. Total RNA diberi perlakuan dengan DNase I (Clontech, Palo Alto, USA). Dua microgram dari masing-masing RNA sampel digunakan untuk
melangsungkan trnskripsi balik dalam kondisi standar dengan Superscript II
transcriptase balik (Gibco BRL, Grand Island, USA) dalam 20 µl volume akhir.
Reaksi dilakukan pada 420C selama 1 jam dan 700C selama
10 menit dan berhenti pada 40C. produk dari reaksi RT diencerkan
dalam 1/40 (cairan A) dan 1/10 (cairan B) dalam air.
Tampilan diferensial
Differential
reaksi display PCR dilakukan dengan menggunakan DeltaTM Diferensial
Tampilan kit dari Clontech (Palo Alto, USA). Lima mikroliter cDNA cairan A dan B digunakan dalam
reaksi PCR selanjutnya dilakukan pada 20 µl campuran reaksi yang mengandung 50
µM setiap dNTPs, 1 µM primer hulu (T)
dan primer hilir (P) dan 1 µU Taq polymerase (Roche, Prancis) mengikuti rekomendasi aturan dunia. Amplificasi dilakukan pada
940C selama 5
menit, 40 0C selama 5
menit dan 68 0C selama 5
menit untuk satu siklus, 94 0C selama 20 detik, 60 0C selama 30 detik
dan 68 0C selama 2
menit selama 30 siklus dan siklus
akhirnya 68 0C selama 7
menit. Produk dari amplifikasi divisualisasikan
pada gel akrilamida (urea 8 M dan TBE 6%) setelah pewarnaan perak nitrat.
fragmen ditentukan untuk diungkapkan secara berbeda dielusi dan cDNA adalah diperkuat
menggunakan primer yang sama T dan P dan PCR yang sama kondisi dimana mereka
dihasilkan. Produk amplifikasi diklon menggunakan keuntungan PCR Cloning kit dari
Clontech (Palo Alto, USA) dan sequencing menggunakan Big DyeTM
Terminator v 3.3 siklus kit sequencing siap untuk direaksikan (Applied Biosystems, Les
Ulis, Prancis) dalam PRISM ABI 310 sequencer DNA otomatis (Applied Biosystems,
Les Ulis, Prancis). Urutan DNA dibandingkan dengan Database Gene Bank menggunakan
ledakan algoritma.
mRNA kuantifikasi oleh kuantitas PCR
secara real-time
Kuantitatif PCR
dilakukan dengan menggunakan sebuah
sistem Cahaya
Cycler (Roche Diagnostics, Meylan, Prancis) sesuai dengan instruksi pabrik. Reaksi
dilakukan pada 10 Volume µl dengan 1 µl cDNA, 0,5 µM primer, 4 mM
MgCl2
dan 1 µl Cahaya Cycler-Fast Start DNA Master SYBR Green I campuran (Roche Diagnostics, Meylan, Prancis). Tipikal protokol terdiri dari langkah mulai panas (8 mn pada 950C) diikuti oleh 40 siklus termasuk 10 detik denaturasi langkah (95 0C), 10 detik annealing langkah (58 ◦C) dan perpanjangan langkah pada 72 0C bervariasi dari 15 detik sampai 40 detik. untuk mengkonfirmasi amplifikasi spesifisitas, produk PCR menjadi sasaran analisis kurva leleh. Data kuantifikasi diwakili rata-rata dari tiga percobaan independen. Primer untuk moesin dipilih dalam urutan yang diperoleh sebelumnya. Urutan primer hulu dan hilir primer masing-masing:
dan 1 µl Cahaya Cycler-Fast Start DNA Master SYBR Green I campuran (Roche Diagnostics, Meylan, Prancis). Tipikal protokol terdiri dari langkah mulai panas (8 mn pada 950C) diikuti oleh 40 siklus termasuk 10 detik denaturasi langkah (95 0C), 10 detik annealing langkah (58 ◦C) dan perpanjangan langkah pada 72 0C bervariasi dari 15 detik sampai 40 detik. untuk mengkonfirmasi amplifikasi spesifisitas, produk PCR menjadi sasaran analisis kurva leleh. Data kuantifikasi diwakili rata-rata dari tiga percobaan independen. Primer untuk moesin dipilih dalam urutan yang diperoleh sebelumnya. Urutan primer hulu dan hilir primer masing-masing:
5’-CGATAATCAGAACCCCGTCC-3’?? dan 5’GGGGAGAAGGCAAATAGGAA-3’. Gen 36B4 digunakan
sebagai gen
referensi. Urutan
primer hulu dan primer hilir masing-masing: 5’
CGACCTGGAAGTCCAACTAC-3’ dan 5’ -AGCAACATG TCCCTGATCTC-’
Hasil
Analisis tampilan diferensial
Analisis tampilan diferensial
dilakukan pada RNA sampel yang diisolasi dari sel-sel stroma pada sumsum tulang
kelinci dikultur dalam FCS baik dengan pemberian deksametason maupun yang tidak
diberi deksametason selama 28 hari. Tiga belas perbedaan kombinasi primer yang
digunakan untuk memperkuat pemberian DNase Total RNA. Lima dari mereka
diperbolehkan untuk mendapatkan pita diferensial.
Tampilan
diferensial menggunakan P1 downstream primer dan T1 upstream primer
diidentifikasisebuah cDNA fragment mengelilingi 300bp yang turun setelah pemberian deksametason
(Pada gambar 1).
Analisis
tampilan diferensial untuk ekstraksi mRNA dari sel stroma sumsum tulang
kelinciyang dikultur dalam FCS dengan penambahan (+) deksametason ataupun tanpa
penambahan deksametason (-) selama 28
hari. Amplifikasi dilakukan pada 5 µl cDNA dari larutan A . dan pengenceran B menggunakan P1 primer
dan T1 Primer. Produk diferensial amplifikasi diamati sekitar 300bp untuk
sampel 1 dan 2 hanya tanpa deksametason.
Sequencing
(urutan) dari fragment ditentukan
berurutan sebuah sequence dari 285 bp dan mengungkapkan bahwa cDNA tidak
teridentifikasi pada kelinci. Namun, sequence menunjukkan 86% dari identitas
moesin mRNA manusia (Gambar. 2) .
Protein Moesin terlibat dalam organisasi sitiskeletal.
Sequence menunjkkan 86% homologi dengan
sequence mRNA moesin manusia. Upstream dan downstream primer ditunjukkan dengan
gambar yang dicetak tebal dan digaris bawah.
Ekspresi
moesin mRNA pada sel stroma sumsum
tulang kelinci
Ekspresi dari mRNA moesin dianalisis
dengan real-time RT-PCR menggunakan RNA total diekstraksi dari sel-sel stroma
sumsum tulang dari tiga ekor kelinci yang dikultur, hasilnya dinyatakan sebagai
relative ekspresi mRNA moesin,
dinormalisasgi ke dalam endogen reference (36B4) dan relative terhadap
deksametason tanpa treatment. Sampel yang dipilih untuk mewakili 100% dari
ekspresi gen ini.
Penelitian
dilakukan dengan analisis display diferensial seperti ditunjukkan pada Gambar
3. Ekspresi moesin mRNA menurun pada
ketiga sampel setelah diberi perlakuan pemberian deksametason. Dalam kondisi
ini, deksametason diperlakukan sampel 1 dan sampel 2 menunjukkkan penurunan
tingkat ekspresi mRNA moesin
masing-masing 75% dan 85%.
Namun, variasi ekspresi mRNA moesin pada sampel 3 masih lemah yaitu 73%
ekspresi yang tersisa setelah diberi perlakuan dengan pemberian deksametason.
Namun demikian, ukuran kecil panel sampel yang diteliti (dari 3 kelinci yang
berbeda) tidak memungkinkan untuk dianalisis secara statistik karena perbedaan
moesin ekspresi dianggap signifikan pada masing-masing kelinci percobaan. Hasil
percobaab dapat dilihat pada Gambar 3 berikut ini.
Ekspresi
mRNA moesin dianalisis dengan Real-Time RT-PCR kuantitatif menggnakan RNA total
diekstraksi dari sel stroma sumsum tulan dari ketiga ekor kelinci percobaan,
(L1, L2, dan L3) yang dikultur pada FCS dengan pemberian deksametason (+) atau
tanpa pemberian deksametason (-). Tingkat mRNA
moesin dinormalisasi dengan gen 36B4. Ekspresi moesin menurun secara signifikan
dalam dua sampel setelah pemberian deksametason.
BAB III
SIMPULAN
Pengaruh pemberian deksametason pada
diferensiasi osteoblastik sesuai dengan literature, bahkan hasil percobaan
pemberian deksametason dalam stimulasi osteoprogenitor sel proliferasi, memproduksi lebih banyak sel-sel yang mampu
menghasilkan nodul tulang. Diferensiasi osteoblast diperoleh untuk sel-sel
stroma sumsum tulang kelinci yang dikultur pada FSC dan diberi perlakuan dengan
pemberian deksametason selama 28 hari. Pemberian pengobatan deksametason dapat memodulasi
gen moesin. Efek dari pemberian deksametason ini dapat menjelaskan beberapa
tindakan terhadap proliferasi dan diferensiasi sel-sel osteoblastik.
DAFTAR
PUSTAKA
Cornet, F. Broux, O, Anselme, K.,
Hardouin, P dan Jeanfis, J. 2004. Effect of
Dexamethasone on Moesin Gene Expression in Rabbit Bone Marrow Stromal Cells. Vol 265 Hal 79-83.
Yudaniayanti, I, Timora F, dan Rosilawati E. 2012. Kombinasi Ampicillin, Dextran-40, dan Deksametason
dalam Mencegah Adhesi Intra-Abdominal Pasca Operasi Histerotomi Kucing (Fellis Catus)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar