Sabtu, 28 Maret 2015

Kalsium Penghantar Impuls



PERAN KALSIUM PADA MEMBRAN SEL SISTEM SARAF KATAK DAN TIKUS SEBAGAI PENGANTARA PENERIMA RANGSANG PENCIUMAN

A.  Pendahuluan
Oksida nitrad berukuran kecil dan labil. Membran yang permeabel terhadap radikal bebas akan memproduksi enzim NO-Sintase (NOS). Dari tiga identifikasi dan kloning NOS-isoform banyak dijumpai dalam neuron atau disebut nNOS, namun ada juga bukti yang menyatakan NOS juga ada dalam sistem saraf. Sedangkan nNOS telah terdeteksi dalam epitel penciuman tikus embrional (Bredt & Snyder, 1994; Roskams et al., 1994), kehadiran NOS di epitel penciuman dewasa masih menjadi perdebatan (lihat Schild & Restrepo, 1998).
Dilaporkan, NO dapat masuk ke ruang intraseluler melalui difusi bebas atau melalui perantaraan protein transport (ditinjau oleh Stamler et al.,n1997), namun itu harus reaktif tinggi dan batas kemampuan aktifitas membran (Garthwaite & Boulton, 1995). Salah satu fungsi NO yaitu sebagai aktivasi guanylyl siklase yang menyebabkan meningkatnya level cGMP (Bredt & Snyder, 1989). Sebuah stimulasi guanylyl siklase oleh NO telah ditemukan dalam pengamatan penerima rangsang penciuman (ORNs) tikus, di mana bau yang disebabkan kenaikan dari level cGMP bisa dihambat oleh NOS penghambat l-nitroarginine dan NO dalam hemoglobin (Breer, Klemm & Boekhoff, 1992), ini menunjukan peran sintesis NO pada sel.
Lischka & Schild (1993) melaporkan induksi arus ke dalam oleh NO-donor natrium nitroprusida (SNP) dalam ORNs Xenopus terisolasi. Sebagaimana arus ini serupa dengan yang ditimbulkan oleh cGMP, penulis mengusulkan NO / cGMP-sistem pada ORNs. Hasil yang sebanding telah diperoleh di penyu (Inamura, Kashiwayanagi & Kurihara, 1998).
Sebaliknya, menggunakan ORNs isolat dari dua spesies amfibi C. caudiverbera dan X. laevis, kami melaporkan bahwa pengaruh dari NO-donor SNP dan NOC-12 yang polaritas tinggi menyebabkan arus keluar sementara sel bagian bawah menahan arus (Schmachtenberg & Bacigalupo, 1999). Saat ini ditandai dengan sensitivitas terhadap K+ saluran penghambat Charybdotoxin dan ketergantungan pada K+ dari luar, menunjukan pengantara dari aktivasi K+. Hubungan arus-tegangan ini mengingatkan pada Ca2+ aktif sebagai penghantar K+ (KCa). Pengaruhnya cepat (latency pendek ~30 msec), bebas dari silia dan tidak sensitif terhadap guanylyl siklase-inhibitor ODQ dan LY83583, menunjukkan mekanisme bebas dari cGMP.
Sementara Fikrie El Mujahid (2009) melaporkan penambahan natrium bikarbonat terhadap larutan anestetik memperpendek mula kerja bupivakain 0,5% pada blokade saraf perifer katak. Sebelumnya, pada tahun 2006, Halim, dkk, menyatakan paparan alkohol kronik menurunkan kepadatan sel granula pada lapisan granular cerebellum tikus putih (Rattus norvegicus) jantan dewasa. Untuk itu makalah ini menjelaskan Peran Kalsium Pada Membran Sel Sistem Saraf Katak Dan Tikus Sebagai Pengantara Penerima Rangsang Penciuman”
B.  Sistem Saraf Vertebrata
Komponen sistem saraf ialah neuron yeng merupakan elemen seluler sistem saraf. Struktur sel saraf bervariasi terdiri dari badan sel, aksen, dan dendrit. Badan sel mengandung inti (nukleus) dan sitoplasma yang mengandung butir-butir Nissl, mitokondria dan lainnya. Butir Nissl mengandung RNA dan penting untuk sintesis protein, perpanjangn sitoplasma disebut serabut saraf. Badan sel merupakan pusat pengendalian dari neuron dan berhubungan dengan aktivitas hidup sel lainnya. Dendrit adalah serabut saraf yang membawa impuls dari neuron yang lain atau reseptor ke badan sel saraf, akson berfungsi membawa rangsang dari badan sel saraf ke neuron yang lain atau efektor-efektor.
Berdasarkan ukuran dan bentuk julurannya neuron dibagi atas, neuron multipolar yaitu neuron yang memiliki lebih dari dua juluran, neuron bipolar yaitu neuron yang memiliki satu dendrit dan satu akson, dan neuron pseudonipolar yaitu neuron yang kelihatan seperti memiliki satu juluran dari badan sel yang kemudian bercabang membentuk huruf T, satu cabang menuju ke saraf periferi dan lainnya menuju ke saraf pusat.
Menurut fungsinya neuron ada tiga jenis neuron yang berinteraksi dalam sistem saraf yaitu :
§ Neuron sensori (aferen) adalah sel-sel saraf yang membawa rangsangan dari alat indra atau resptor ke saraf pusat atau otak.
§ Neuron motoris (eferen) adalah sel saraf yang membawa rangsangan dari otak ke perifer.
§ Neuron penghubung adalah sel saraf yang menghubungkan saraf yang satu dengan yang lainnya.
Kemampuan vertebrata untuk menanggapi rangsang membutuhkan tiga komponen yakni harus ada reseptor, neorun, dan efektor. Efektor merupakan struktur yang melaksanakan aksi sebagai respon terhadap rangsangan. Rangsangan yang disampaikan ke efektor melalui neuron motoris.  
Rangsangan bergerak dari neuron ke neuron lainnya, ujung-ujung dendrit dari masing-masing sel saraf tidak saling menyentuh namun ada jembatan protoplasma yang dinamai sinapsis.
Beberapa ujung cabang akson membentuk seperti gelembung kecil yang dinamakan terminal buton. Dalam terminal ini terdapat kantong sangat kecil yang berisi bahan kimia yang dinakam neurotransmiter termasuk asetilkolin, asam amino-butirat, norepi-nefrin, dan serotonin yang merangsang dendrit terdekat untuk mulai menyampaikan pesan.
Neurotransmiter ini dilepaskan ke rongga yang dinamakan celah sinapsis (Synaptic cleft), kemudian zat itu berdifusi dengan cepat ke dendrit terdekat. Ini akan mengganggu potensial istirahat dendrit dan dengan begitu akan membangkitkan rangsangan baru, akhirnya rangsangan mencapai sel efektor. Pada saat ini neurotransmitter dilepas dari neuron motoris melalui “motor and plate” yang berada pada ujung-ujung akson dekat serabut otot. Neurotransmitter ini menyebabkan otot berkonstraksi.
Sel glia adalah sel non-neuron yang menyediakan dukungan dan nutrisi, mempertahankan homeostasis, membentuk mielin, dan berpartisipasi dalam transmisi sinyal dalam sistem saraf. Di antara fungsi paling penting dari sel glia adalah untuk mendukung neuron dan menahan mereka di tempatnya ; untuk menyediakan nutrisi ke neuron; untuk insulasi neuron secara elektrik, untuk menghancurkan patogen dan menghilangkan neuron mati, dan untuk menyediakan petunjuk pengarahan akson dari neuron ke sasarannya. Sebuah jenis sel glia penting (oligodendrosit dalam susunan saraf pusat, dan sel schwann dalam sistem saraf tepi) menggenerasikan lapisan sebuah substansi lemak yang disebut mielin yang membungkus akson dan menyediakan insulasi elektrik yang mengijinkan mereka untuk mentransmisikan potensial aksi lebih cepat dan lebih efisien.
Sistem saraf vertebrata dibagi menjadi dua yaitu sistem saraf pusat dan sistem saraf tepi. Sistem saraf pusat terdiri dari otak dan sum-sum tulang belakang. Otak menyediakan kemampuan integratif yang mendasari perilaku kompleks yang khas pada vertebrata. Sum-sum tulang belakang mengintegrasikan respon yang sederhana terhadap jenis stimulus tertentu dan mengirimkan informasi ke dan dari otak.  Sementara sistem saraf tepi pada vertebrata terdiri atas saraf kranial dan saraf spinal yang berpasangan serta ganglia terkait. Saraf kranial berasal dari otak yang menginervasi organ kepala dan tubuh bagian atas. Saraf spinal berasal dari sum-sum tulang belakang dan menginervasi keseluruhan tubuh. Karena pengaturan yang kompleks dari neuron sensoris dan neuron motoris pada saraf spinal dan saraf kranial vertebrata makan sistem saraf tepi dibagi menjadi : Sistem saraf somatik membawa sinyal ke otot rangka terutama sebagai respon terhadap rangsangan eksternal. Sistem saraf otonom mengirimkan sinyal yang mengatur lingkungan eksternal dengan cara mengontrol otot polos dan otot jantung serta organ-organ sistem pencernaan, kardioveskuler, ekskresi dan endokrin. Sistem saraf ototnom terdiri atas sistem saraf simpatik dan sistem saraf parasimpatik.
C.  Kalsium
Kalsium merupakan mineral yang paling banyak terdapat di dalam tubuh vertebrata (manusia 1,5-2% dari berat badan orang dewasa). Di dalam cairan ekstraselular dan intraselular kalsium memegang peranan penting dalam mengatur fungsi sel, seperti untuk transmisi saraf, kontraksi otot, penggumpalan darah dan menjaga permebilitas membran sel.  Kalsium juga mengatur pekerjaan hormon-hormon dan faktor pertumbuhan (Almatsier, 2004).
D.  Pembahasan
Hasil penelitian oleh O. Schmachtenberg dan J. Bacigalupo (1999) menyatakan bahwa, NO menginduksi arus dalam K+ saat ORNs Xenopus dan Caudiverbera dipisahkan (Schmachtenberg & Bacigalupo, 1999). Fenomena ini, ditunjukkan pada percobaan menggunakan tikus yang dimediasi oleh Ca2+ .
Pada Ca2+ yang bebas dari pengaruh NO, tegangan arus memiliki hubungan dan sensitif terhadap IbTX menunjukan aktivasi konduktansi Kca. Konduktansi ini peka terhadap TEA tetapi tidak peka pada Apamin (Gambar 2) menunjukan adanya keterlibatan saluran Kca namun konduktansi tidak kecil (Hille,1992;. Candia et al, 1992; Cai, Garneau & Sauve, 1998). Saluran Kca dengan konduktansi kesatuan 130 pS dan ketergantungan Ca2+ yang kuat telah dijelaskan dalam ORNs tikus (Maue & Dionne, 1987). Ca2+ terlibat dalam pengaktifan NO yang diinduksi K+ mungkin Ca2+  meresap masuk ke dalam sel melalui kanal, atau dapat dilepaskan dari dalam. Penurunan diamati dari pengaruh NO oleh kadmium, nipedifin, dan rendah Ca2+  luar sejalan dengan gagasan bahwa Ca2+  menyebabkan masuknya NO yang selanjutnya diaktifkan saluran Kca. Pengamatan langsung dari NO yang diinduksi kedalam arus dan Ca2+ menggambarkan percobaan didukung bahwa  hipotesis.
Modulasi arus dari Ca2+ oleh NO dari neuron simpatik dan sel-sel otot jantung telah dilaporkan (Chen & Schofield, 1993; Campbell, Stamler & Strauss,1996), tapi bagaimana masuknya Ca2+ di ORNs disebabkan oleh NO masih harus diklarifikasi. Pengamatan menunjukan siklus GNP tidak mungkin terlibat karena penghambat guanylyl siklase tidak mencegah pengaruh. Ca2+ masuk juga merupakan langkah kunci dalam transduksi penciuman. Hal ini menumbulkan pertanyaan, mengapa induksi NO masuknya Ca2+ tidak mengaktifkan Ca2+ terikat saluran klorida seperti yang terjadi selama respon bau (Lowe & Gold,1993). Salah satu kemungkinan adalah adanya pemisahan ruang atau penghalang kimia dua jalur masuk Ca2+. Memang, percobaan dengan fokus stimulasi menunjukan bahwa pengaruh NO dominan di soma dimana Ca2+ terikat saluran klorida tidak diharapkan. Dua Ca2+ konduktansi telah dijelaskan dalam ORNs : tegangan somatik tergantung konduktansi (Schild, 1991; Delgado & Labarca, 1993) dan konduktansi CNG terbatas terutama untuk silia. Hasil penelitian menunjukan jalur masuk Ca2+ melalui saluran somatik karena : (i) pengaruh keberadaanya dalam sel tanpa silia dan dalam sel dengan silia somatik menghasilkan arus stimulasi yang lebih besar daripada stimulasi silia (Gambar. 7A), meskipun kepadatan saluran CNG adalah jauh lebih rendah di soma. (ii) Suatu aktivasi saluran CNG harus menyebabkan arus ke dalam menonjol, seperti yang terjadi selama respon bau, tapi ini tidak terjadi (Gbr. 5), dan (iii) dosis tinggi CNG penghambat saluran LY83583 tidak mnghambat arus NO yang diinduksi (Gambar. 7B dan 8C).
Broillet & Firestein (1996a, 1997) melaporkan pengaktifan NO  oleh saluran asli CNG dari salamander harimau dan tikus serta pengaktifan rekombinasi menyatakan tikus α- dan β-homomerik dan α/ β heteromeric saluran CNG oleh NO. Pengaktifan terjadi hanya perlahan-lahan kembali dan dapat menirukan dengan memodifikasi agen sulfhidril, menunjukkan bahwa NO berinteraksi dengan sisa sistein yang mengarah ke oksidasi bebas kelompok SH. Namun, mengenai asal saluran CNG penciuman tikus, laporan lain baru-baru ini (Lynch, 1998) menemukan sebaliknya: penghambatan langsung oleh NO.
Menariknya, dua penelitian patch-clamp seluruh sel melaporkan pengaktifan arus masuk pada ORNs oleh NO juga menyimpulkan keterlibatan cGMP (Lischka &  Schild, 1993; Inamura et al., 1998), mengusulkan NO-stimulasi terlarut guanylyl siklase dan mengabaikan pengaruh langsung NO. Dalam kedua studi rekaman yang dilakukan pada memegang potensi -70 mV, dimana luar K+ dijelaskan terlalu dekat dengan potensi ekuilibrium untuk terdeteksi. Namun, dalam percobaan ini, tidak berdenyut singkat maupun panjang dengan NO-donor SNP diinduksi ke dalam arus di bawah kondisi ionik normal. Anehnya, Lischka & Schild (1993) menegaskan syarat mutlak dari SNP diinduksi ke dalam larutan intraseluler, tinggi (3 mM) GTP yang tidak terjadi di Inamura et al. (1998), di mana tidak ada GTP ditambahkan. Digunakan 0,1 mM GTP, tapi kehilangan tidak ada bedanya. Hasil ini bertentangan mungkin mencerminkan fleksibilitas reaksi NO (lihat Stamler et al., 1997) atau bisa karena perbedaan perlakuan percobaan, seperti gangguan Ca2+ bebas dering atau enzim proteolitik yang bertentangan dengan mekanisme pemisahan murni. Sayangnya, penelitian seluruh sel yang disebutkan di atas tidak memiliki karakterisasi farmakologi saat diamati, dan hipotesis NO / cGMP-sistem intinya didasarkan pada perbandingan SNP dengan pengaruh cGMP.
Hipotesis dari sinyal NO-sistem dalam epitel penciuman dewasa menyiratkan perlunya untuk ekspresi NOS​​. Sedangkan beberapa peneliti gagal untuk mengidentifikasi sumber NO diduga menggunakan antibodi terhadap nNOS atau mRNA hibridisasi in situ (ulasan Broillet & Firestein, 1996b; Schild & Restrepo, 1998), upaya dengan metode NADPH-diaphorase menghasilkan pewarnaan kuat dalam epitel penciuman tikus (Kulkarni, Getchell & Getchell, 1994; Dellacorte et al,.1995). Namun, metode histokimia ini juga tanda setara enzim sitokrom P-450 reduktase, yang
hadir dalam sel-sel sustentacular epitel penciuman (Kishimoto et al., 1993), sehingga mencegah penafsiran kesimpulan hasil ini.
Salah satu kemungkinan untuk mendamaikan data kontroversial dalam ekspresi sampai sekarang yang teridentifikasi NOS isoform dalam epitel penciuman.  Arhold et al. (1997) menemukan ekspresi transien diinduksi NOS isoform (iNOS) dalam mengembangkan ORNs dari embrio tikus, sedangkan dua isoform lainnya tidak terdeteksi. Sementara temuan ini bertentangan dengan sebelumnya diidentifikas ekspresi nNOS dalam tumbuh melampaui ORNs dari embrio tikus berkaitan dengan NOS isoform dan periode ekspresi (Bredt & Snyder, 1994;. Roskams et al, 1994), ketiga laporan menunjukkan peran NO dalam proses perkembangan seperti merintis jalan aksonal dan synaptogenesis. Hal ini perhatian khusus karena neuron terus dihasilkan dalam epitel penciuman, oleh karena itu NO mungkin mempertahankan peran perkembangan pada hewan dewasa. Meskipun ekspresi NOS ​​di ORNs menurun setelah lahir, bisa jadi induksi kembali oleh bulbectomy sepihak (Roskams et al., 1994), membuat model epitel penciuman yang sangat baik untuk mempelajari fungsi NO dalam perkembangan saraf.
ORNs bukan satu-satunya kemungkinan sumber NO dalam epitel penciuman. nNOS telah ditemukan dalam ekstrinsik saraf innervating pembuluh darah dan kelenjar seromucous pada mukosa penciuman, di mana ia dapat mengatur aliran darah dan sekresi (Hanazawa et al, 1994;. Kulkarni et al., 1994). Meskipun kelihatannya hampir tidak mungkin bahwa NO dari sumber yang jauh ini mempengaruhi sinyal penciuman di  silia dan dendrit, mungkin mencapai target yang lebih proksimal seperti bagian somata atau aksonal dari ORNs. Atau NO stimulasi in vivo dapat terjadi dalam bola pencium, di mana ORNs membentuk sinapsis dengan sel mitral. NOS berlimpah di bohlam pencium dan diproduksi oleh sel granul dan tipe sel lainnya (Kishimoto et al, 1993.; Hopkins et al., 1994). Target molekul ORN tanggap terhadap NO mungkin didistribusikan di seluruh sel membran, tapi benar-benar digunakan hanya di bola pencium.
Akhirnya, konsentrasi tinggi dari CO memproduksi enzim heme oxygenase-2 dan sitokrom P-450 dalam epitel penciuman menyebabkan hipotesis bahwa CO mungkin berpartisipasi dalam saraf penciuman daripada NO (Verma et al., 1993). Selain itu, eksogenus CO telah ditunjukkan untuk mengaktifkan saluran CNG dari isolasi ORNs dari salamander harimau (Leinders Zufall, Shepherd & Zufall, 1995). Pengaruhnya diperlukan GTP dalam larutan internal dan bisa diblokir oleh larutan guanylyl siklase-inhibitor LY83583, menunjukkan bahwa itu dimediasi oleh cGMP. Berdasarkan hasil tersebut, penulis menyarankan jalur CO / cGMP di penciuman transduksi dan beralih mungkin antara NO dan CO selama pengembangan.
Meskipun cGMP terikat NO dan CO rangsangan saluran CNG muncul sebanding yang melibatkan baik cGMP maupun saluran CNG, jelas merupakan fenomena yang terpisah. Penelitian di masa depan harus menjelaskan fungsi NO sinyal pada ORNs vertebrata.
Laporan Fikrie El Mujahid (2009), adanya pemendekan mula kerja anestesi lokal pada penambahan natrium bikarbonat. Ketika pH ekstraseluler meningkat karena penambahan natrium bikarbonat, berkurangnya pH intraseluler selama difusi CO2 bisa juga memainkan peran dalam meningkatkan blokade anestesi lokal selama protonasi basa bebas anestesi lokal intraseluler (ion trapping) dan meningkatkan gradien konsentrasi basa bebas anestesi lokal melintasi membran plasma. Hal ini disebabkan penambahan natrium bikarbonat menyebabkan terjadinya alkalinisasi. Dalam bentuk basa bebas, anestetik lokal hanya sedikit larut dan tidak stabil dalam bentuk larutan. Sebelum mencapai tempat kerjanya obat harus berdifusi melalui jaringan penyambung dan membran sel lain, dan hal ini hanya mungkin terjadi dengan bentuk amin yang tidak bermuatan listrik. Untuk menembus membran neuron, larutan non ion larut lemak dibutuhkan. Mula kerja anestetik lokal merefeksikan difusi dari bentuk non ion larut lemak menembus membran saraf. Semakin banyak bentuk non ion, semakin cepat pula mula kerjanya.
Hendry Halim, dkk, (2006) menyatakan paparan alkohol kronik menurunkan kepadatan sel granula pada lapisan granular cerebellum tikus putih (Rattus norvegicus) jantan dewasa. Mereka melaporkan salah satu mekanisme kerusakan sel granula cerebellum yang diyakini berkaitan dengan toksisitas alkohol adalah mekanisme peningkatan fluiditas membran. Peningkatan fluiditas terjadi karena alkohol mengikat hidrogen dan senyawa alkil lain pada membran yang menyebabkan terganggunya lipid phase transition  temperature, yaitu suhu yang dapat menyebabkan membran lipid berubah dari cair (liquid state ) menjadi gel (solid state). Hal ini menyebabkan membran lipid berubah menjadi lebih cair, akibatnya pergerakan dan interaksi protein membran meningkat. Gangguan fluiditas membran mengakibatkan influks berlebihan sejumlah ion yang pada keadaan normal dipertahankan dalam keseimbangan yang dinamis. Masuknya ion Ca2+ secara berlebihan ke dalam sel memacu kerusakan membran mitokondria. Kerusakan ini dikarenakan Ca2+  yang berlebihan menyebabkan gangguan potensial listrik trans-membran dan Ca2+ overload menyebabkan terbukanya saluran nonselektif berukuran besar yang disebut Permeable Transition Pore ( PT-pore).
E.  Simpulan
Sistem saraf merupakan mekanisme yang penting dalam tubuh makhluk hidup umumnya dan vertebrata khususnya. Sistem saraf vertebrata dibagi menjadi dua yaitu sistem saraf pusat dan sistem saraf tepi. Sistem saraf pusat terdiri dari otak dan sum-sum tulang belakang. Karena pengaturan yang kompleks dari neuron sensoris dan neuron motoris pada saraf spinal dan saraf kranial vertebrata makan sistem saraf tepi dibagi menjadi : Sistem saraf somatik dan Sistem saraf otonom. Sistem saraf otonom terdiri atas sistem saraf simpatik dan sistem saraf parasimpatik.
Berdasarkan penjelaskan referensi jurnal menyatakan bahwa paparan alkohol kronik menurunkan kepadatan sel granula pada lapisan granular cerebellum tikus putih, Penambahan natrium bikarbonat terhadap larutan anestetik memperpendek mula kerja bupivakain 0,5% pada blokade saraf perifer katak.
Oleh karena itu referensi jurnal karya O. Schmachtenberg dan J. Bacigalupo setidaknya memberikan gambaran seberapa besar pengaruh Ca2+ pada membran sel saraf sebagai pengantar impuls. Paper ini menjadi sangat penting demi keberlangsungan kerja sistem saraf vertebrata juga referensi penelitian penerapan lebih lanjut.


DAFTAR PUSTAKA

Campbell, dkk. 2002. BIOLOGI Jilid 3 Edisi 5. Jakarta : Erlangga.

Halim, Hendry, dkk, 2006. Pemberian Alkohol Peroral Secara Kronis Menurunkan Kepadatan Sel Granula Cerebellum Pada Tikus Putih (Rattus norvegicus) Jantan Dewasa. Jurnal Anatomi Indonesia Vol. 01 No. 01 : 19-24

Mujahid, Fikrie El, 2009. Pengaruh Penambahan Natrium Bikarbonat Terhadap Mula Kerja Bupivakain 0,5% Pada Blokade Saraf Perifer Katak. Semarang : FK UNDIP

Schmachtenberg, O. dan J. Bacigalupo. 1999. Calcium Mediates the NO-induced Potassium Current in Toad and Rat Olfactory Receptor Neurons. The Journal of Membrane Biology 175, 139-147

Tidak ada komentar:

Posting Komentar